Kamis, 29 Desember 2011

Tasawuf Kebahagiaan


Bab I Pendahuluan

1.1            Latar Belakang
Banyak orang mengatakan bahwa kebahagiaan itu datangnya dari harta, dari kekuasaan, tahta dan berbagai cara pun dilakukannya untuk merebut kekuasaan tersebut. Pejabat-pejabat tanpa malu melakukan korupsi untuk mendapatkan materi yang berlimpah, dan orang-orang pun mau melakukan apa saja untuk naik jabatan dan mendapatkan kekuasaan sehinga ia menjadi orang berkuasa yang dapat bertindak sesuka hati. Mungkin saja mereka sudah merasa cukup bahagia dengan segala hal materi dan kesenangan sesaat yang telah didapatkan. Namun, kebahagiaan mereka tidaklah merasuk secara rohaniah, karena  kebahagiaan seperti itu hanya bersifat kondisional. 
Terkadang kebahagiaan itu datang dan pergi. Jika kita sedang jaya dan sukses, barulah kebahagiaan itu datang. Tapi jika kita bangkrut dan jatuh miskin, maka kebahagiaan itu akan hilang. Dari sini saja dapat dilihat bahwa kebagaiaan yang seperti itu hanya bersifat sesaat saja tergantung dengan kondisi eksternal manusia. Kebahagiaan yang dicapai dalam islam itu bersifat mutlak jika kita benar-benar telah mengerti apa itu konsep kebahagiaan yang sebenarnya. Kebahagiaan itu akan datang dengan sendirinya jika hati telah dipenuhi dengan iman yang kuat dan bertindak sesuai dengan keyakinan yang kita punya itu. Jika hati telah penuh dengan iman, walaupun kita disiksa sekalipun itu tidak akan jadi masalah.
Mendefinisikan hidup bahagia sangatlah mudah untuk diungkapkan dengan kata-kata dan sangat mudah untuk disusun dalam bentuk kalimat namun tak mudah mencapainya. Semuah hal akan menjadi mudah kita lakukan dengan mempelajarinya dari sang pencipta berdasarkan ajarannya yang tertuang dalam Islam. Untuk lebih menyelami makna bahagia saya membuat makalah ini dengan Tema “Tasawuf dan Kebagiaan”.


1.2            Tujuan
Mempelajari ilmu allah sangatlah penting karena dengan ilmulah hidup akan terarah pada jalan yang baik di jalan yang Allah ridhai dan salah satunya adalah ilmu tasawuf. Dengan mempelajari ilmu Tasawuf, insyaallah kita akan mampu melatih jiwa dan menghasilkan cerminan ahlak yang mulia dan dekat dengan Allah swt. Sehingga dengan mempelajari tasawuf akan membuat kita mampu mengapresiasikan makna kebahagiaan dalam islam dan tentunya akan membantu kita menggapai kebahagiaan secara rohaniah dan jasmani.

1.3            Ruang Lingkup Materi
Dengan ketidak mengertian kita terhadap agama tentunya akan mempersulit langkah yang akan kita lalui nantinya, baik dalam kehidupan di dunian maupun di akhirat. Allah telah memberikan petunjuk melalui perantara nabi dan rasul dengan nabi terakhir nabi Muhammad SAW serta mukzizatnya yaitu Al-quran. Untuk itu sangatlah baik untuk kita mempelajari dan mengenal ruang lingkup tasawuf dalam mempengaruhi kebahagiaan.
·         Makna tasawuf, efek tasawuf dalam kehidupan.
·         Makna bahagia, hal-hal yang membahagiakan.
·         Hubungan tasawuf dengan pencapaian kebahagiaan.












Bab II Dasar Teori

2.1            Pengertian dan Tujuan Tasawuf
Terdapat sejumlah pengertian bahasa/istilah yang dihubungkan para ahli untuk menjelaskan tentang tasawuf. Harun Nasution misalnya, ia menyebutkan lima istilah yang berkenaan dengan tasawuf, yaitu Al-Suffah (orang yang ikut pindah dengan nabi dari Mekkah ke Madinah). Saf (barisan), Sufi (suci), Sophos (bahasa Yunani: hikmah) dan Suf (kain wol).[1] Keseluruhan kata ini bisa saja dihubungkan dengan tasawuf. Yakni kata al-Suffah (orang yang ikut pindah dengan Nabi dari Mekkah ke Madinah) misalnya menggambarkan keadaan orang yang rela mencurahkan jiwa raganya/harta benda semata-mata karena Allah. Mereka rela meninggalkan semuanya di Mekkah untuk hijrah bersama Nabi ke Madinah. Selanjutnya kata Saf (menggambarkan orang yang selalu berada di barisan depan dalam beribadah dan melakukan kebajikan) demikian pula kata Sufi (suci) menggambarkan orang yang selalu memelihara dirinya dari berbuat dosa dan kata Sophos (hikmah) menggambarkan keadaan jiwa yang senantiasa cenderung kepada kebenaran.[2]
Dari segi bahasa dapat segera dipahami bahwa tasawuf adalah sikap mental yang selalu memelihara kesucian diri, beribadah, hidup sederhana, rela berkorban untuk kebahagiaan dan selalu bersikap bijaksana, sikap jiwa yang demikian itu pada hakikatnya adalah Ahlak yang mulia.
Adapun pengertian tasawuf dari segi istilah atau pendapat para ahli amat bergantung kepada sudut pandang yang digunakan masing-masing.Selama ini ada tiga sudut pandang yang digunakan para ahli untuk mendefinisikan tasawuf yakni sudut pandang manusia sebagai mahluk terbatas, manusia seabgai mahluk yang harus berjuang dan manusia sebagai mahluk bertuhan. Jika dari sudut pandang manusia sebagai makhluk yang terbatas, maka tasawuf dapat didefenisikan sebagai upaya menyucikan diri dengan menjuhkan kehidupan dunia, dan hanya memusatkan perhatian kepada Allah SWT.[3]
Pada intinya tasawuf adalah upaya melatih jiwa dengan berbagai kegiatan yang dapat membebaskan dirinya dari pengaruh kehidupan dunia, sehingga tercermin ahlak yang mulia dan dekat dengan Allah swt. Inilah esensi atau hakikat tasawuf itu sendiri.
Tasawuf bertujuan untuk memperoleh suatu hubungan khusus langsung dari Tuhan. Hubungan yang dimaksud mempunyai makna dengan penuh kesadaran. Bahwa manusia sedang berada di hadirat Tuhan. Kesadaran tersebut akan menuju konteks komunikasi dan dialog antara ruh manusia dengan Tuhan. Hal ini melalui cara bahwa manusia perlu mengasingkan diri. Keberadaannya yang dekat dengan Tuhan akan berbentuk “Ijtihad” (bersatu dengan Tuhan) demikian menjadi inti persoalan “sufisme” baik pda agama Islam maupun diluarnya.[4]
Dengan demikian nampak jelas bahwa tasawuf sebagai ilmu agama, khusus berkaitan dengan aspek-aspek moral serta tingkah laku yang merupakan substansi Islam. Hakikat tasawuf adalah keadaan lain yang lebih baik dan lebih sempurna, yakni suatu perpindahan dari alam kebendaan kepada alam rohani
Selanjutnya jika sudut pandang yang digunakan  sebagai makhluk yang harus terus berjuang, maka tasawuf dapat didefenisikan sebagai upaya memperindah diri dengan akhlak yang bersumber dari ajaran agama dalam rangka mendekatkan diri kepada Allah SWT. Dan jika sudut pandang yang digunakan adalah manusia sebagai makhluk yang ber-Tuhan, maka tasawuf dapat mengarahkan jiwa agar tertuju pada kegiatan-kegiatan yang dapat menghubungkan manusia dengan Tuhan.

Insyaallah, dengan bertasawuf akan mampu menyucikan jiwa demi tercapainya kesempurnaan dan kebahagiaan hidup di dun. Maka untuk itu diperlukan suatu latihan dari tahap satu ketahap lain yang lebih tinggi dan jalan satu-satunya menurut semua sufi adalah dengan kesucian jiwa dan untuk mencapai tingkat kesempurnaan dan kesucian jiwa itu sendiri memerlukan pendikan dan latihan mental yang panjang dan bertingkat.[5]
Beberapa ayat dalam Al-Qur’an mengatakan bahwa manusia dekat sekali pada Tuhan, diantaranya:
وَإِذَا سَأَلَكَ عِبَادِي عَنِّي فَإِنِّي قَرِيبٌ أُجِيبُ دَعْوَةَ الدَّاعِ إِذَا دَعَانِ فَلْيَسْتَجِيبُوا لِي وَلْيُؤْمِنُوا بِي لَعَلَّهُمْ يَرْشُدُونَ {186}
“Dan apabila hamba-hambaKu bertanya kepadamu tentang Aku, maka (jawablah), bahwasanya Aku adalah dekat. Aku mengabulkan permohonan orang yang berdoa apabila ia memohon kepadaKu, maka hendaklah mereka itu memenuhi (segala perintahKu) dan hendaklah mereka beriman kepadaKu, agar mereka selalu berada dalam kebenaran.” (Al-Baqarah: 186).
Tafsir Ayat : 186
Ayat ini adalah jawaban dari pertanyaan beberapa sahabat Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam. Mereka bertanya kepada beliau seraya berkata, “Wahai Rasulullah, apakah Rabb kami itu dekat hingga kami membisiki-Nya ataukah Dia jauh hingga kami menyeruNya?” , kemudian turunlah ayat, { وَإِذَا سَأَلَكَ عِبَادِي عَنِّي فَإِنِّي قَرِيبٌ } “Dan apabila hamba-hamba-Ku bertanya kepadamu tentang Aku, maka (jawablah), bahwasanya Aku adalah dekat” karena sesungguhnya Allah Ta’ala Maha Mengawasi, Maha Melihat dan Mengetahui apa yang tersembunyi dan dirahasiakan, Dia mengetahui pandangan mata yang khianat dan apa yang disembunyikan oleh hati dan Dia sangat dekat dari orang yang berdoa kepadaNya dengan mengabulkannya, oleh karena itu Dia berfirman, {أُجِيبُ دَعْوَةَ الدَّاعِ إِذَا دَعَانِ } “Aku mengabulkan permohonan orang yang berdoa apabila dia memohon kepadaKu” berdoa itu ada dua macam, doa ibadah dan doa meminta.6
Walaupun ditengah cobaan yang terus mendera Allah akan tetap bersama kita bahkan mampu mengambulkan segala do’a umatnya dengan ridha-Nya. Bahagialah kita semua yang selalu dekat dengannya. Apalah arti dari harta yang melimpah jika jiwa tak pernah puas? Apalah arti kasih dan sayang jika kita tak pernah bersyukur? Apalah arti tahta kedudukan kalau tidak bisa dinikmati? Dengan mengisi jiwa dan rohanilah kita dapat merasakan kebahagian.
Ketika harta telah meninggal kita, Allah akan selalu disekitar kita. Saat kasih dan sayang pudar dari menghilang, Allah senantiasa menentramkan segala kebimbangan dan mengisinya. Kala kita merasa hina, dimata Allah semua makhluknya adalah sama derajatnya. Dengan kita mendekatkan diri kepadanya kebahagiaan sungguh dekat terasa.

2.2            Sumber Kebahagiaan
 Setiap manusia di dalam kehidupan ini berusaha untuk meraih kebahagiaan, itulah tuntutan hakiki bagi setiap insan, baik yang beriman atau yang kafir, manusia yang baik dan buruk, yang kaya dan miskin. Setiap mereka menginginkan kebahagiaan namun mereka memiliki pandangan yang berbeda dalam melihat kebahgaiaan tersebut. Diantara mereka ada yang melihat bahwa kebahagiaan itu ada pada mengumpulkan harta dan dirham, sementara yang lain melihat kebahagiaan itu pada jabatan yang tinggi, dan yang lainnya lagi melihat kebahagiaan itu pada penghargaan yang tinggi dan ada juga yang memandang kebahagiaan itu pada perkara yang lain.


Sebenarnya semua perkara diatas termasuk bagian yang bisa mendatangkan kebahagiaan, namun bukanlah seluruh kebahagiaan itu ada hal-hal tersebut dikaarenakan kebahagiaan yang seperti itu bersifat temporer yang akan hilang. Orang yang memiliki harta bisa kehilangan hartanya, dan orang yang menempati jabatan terkadang bisa turun dari jabatannya. Bahkan harta yang merupakan tulang punggung kehidupan jika pemanfaatannya tidak diarahkan pada ketaatan kepada Allah maka dia akan menjadi bumerang bagi pemiliknya. Allah subhanahu wa ta’ala berfirman:
“Maka janganlah harta benda dan anak-anak mereka menarik hatimu. Sesungguhnya Allah menghendaki dengan (memberi) harta benda dan anak-anak itu untuk menyiksa mereka dalam kehidupan di dunia dan kelak akan melayang nyawa mereka, sedang mereka dalam keadaan kafir. (QS. Al-Taubah: 55).
Dengan firman di atas dapat ditelaah bahwa kebahagiaan hakiki itu tidak bukanlah sekedar mengumpulkan harta, karena orang yang bertaqwa dialah orang yang merasa bahagia. Dan orang yang bahagia bukanlah itu orang yang senang dengan dunianya. Orang bahagia yang sebenarnya adalah orang yang selamat dari neraka.
Allah subhanahu wa ta’ala berfirman:

Tiap-tiap yang berjiwa akan merasakan mati. Dan sesungguhnya pada hari kiamat sajalah disempurnakan pahalamu. Barang siapa dijauhkan dari neraka dan dimasukkan ke dalam surga, maka sungguh ia telah beruntung. Kehidupan dunia itu tidak lain hanyalah kesenangan yang memperdayakan. (QS. Ali Imron: 185).
syekh Al-Sa’di menyabutkan beberapa sebab seseorang menjadi bahagia di antaranya:
Pertama: Beriman kepada Allah AWT dan beramal shaleh. Allah subhanahu wa ta’ala berfirman:
“Barang siapa yang mengerjakan amal saleh, baik laki-laki maupun perempuan dalam keadaan beriman, maka sesungguhnya akan Kami berikan kepadanya kehidupan yang baik dan sesungguhnya akan Kami beri balasan kepada mereka dengan pahala yang lebih baik dari apa yang telah mereka kerjakan”. (QS. Al-Nahl: 97).
Ibnu Abbas berkata: Kehidupan yang baik adalah kehidupan yang bahagia[6]. Kebahagiaan ini adalah perasaan yang dihunjamkan oleh Allah subhanahu wa ta’ala didalam hati seorang yang shaleh sekalipun hidup dalam tekanan eknomi yang sempit.
Kedua: Di antara sebab-sebab kebahagiaan adalah  beriman kepada qodha’ dan qodar Allah subhanahu wa ta’ala, sesungguhnya jika manusia beriman kepada qodha’ dan qodar Allah subhanahu wa ta’ala maka dia akan merasakan ketanangan jiwa, berlapang dada dengan apa yang menimpanya sekalipun perkara tersebut dibencinya. Dan Nabi Muhammad shalallahu’alaihi wasallam telah memberitahukan bahwa beriman dengan qodha dan qodar adalah salah satu rukun iman yang keenam.
Diriwayatkan oleh Imam Ahmad di dalam musnadnya dari Ibnu Abbas RA bahwa Nabi Muhammad shalallahu’alaihi wasallam bersabda: Apabila engkau meminta maka memintalah kepada Allah subhanahu wa ta’ala dan apabila engkau memohon pertolongan maka memohonlah pertolonganlah kepada Allah subhanahu wa ta’ala, sesungguhnya pena tersebut telah kering dengan apa yang telah ditentukan oleh -Nya. Seandainya  seluruh makhluk berkehendak untuk memberikan manfaat bagimu dengan sesuatu yang tidak dikehendaki oleh Allah maka mereka tidak akan bisa melakukannya, dan jika mereka ingin  untuk memberikan mudharat dengan sesuatu yang tidak ditetapkan oleh Allah maka mereka tidak mampu melakukannya”.[7]
Ketiga: Memperbanyak berzikir kepada Allah Azza Wa Jalla, berzikir merupakan rahasia yang sangat tangguh dalam menciptakan lapangnya dada dan nikmatnya hati. Ibnul Qoyim  telah menyebutkan beberapa manfaat dari manfaat berzikir di antaranya: Zikir itu mengusir kecemasan dan kesedihan dan mendatangkan kesenangan, kebahagiaan dan kehidpan yang baik. Allah subhanahu wa ta’ala berfirman:
“(yaitu) orang-orang yang beriman dan hati mereka menjadi tenteram dengan mengingat Allah. Ingatlah, hanya dengan mengingat Allah -lah hati menjadi tenteram.” (QS. Al-Ra’du: 28).
Keempat: Qona’ah dengan rizki yang diberikan oleh Allah subhanahu wa ta’ala. Barang siapa yang merasa puas dengan rizki yang diberikan oleh Allah subhanahu wa ta’ala maka dadanya akan menjadi lapang, jiwanya akan tenang. Diriwayatkan oleh Muslim di dalam kitab shahihnya dari Abdullah bin Amr bin Ash RA bahwa Nabi Muhammad shalallahu’alaihi wasallam bersabda: Sungguh telah beruntung orang yang masuk Islam dan diberikan kecukupan yang membuatnya tidak meminta-minta dan diberikan kepuasan dengan apa yang diberikan oleh Allah”.[8]
Kelima: Hendaklah seorang mu’min menyadari bahwa kebahagiaan yang hakiki adalah kebahagiaan di akherat kelak. Dia harus menyadari bahwa dunia adalah tempat berbagai musibah, kekeruhan dan kesedihan. Allah subhanahu wa ta’ala berfirman:
قَدْ خَلَقْنَا الْإِنْسَانَ فِي كَبَدٍ
Sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia berada dalam susah payah. (QS. Al-Balad: 4)
Allah subhanahu wa ta’ala berfirman tentang penghuni surga:
Dan mereka berkata: "Segala puji bagi Allah yang telah menghilangkan duka cita dari kami. Sesungguhnya Tuhan kami benar-benar Maha Pengampun lagi Maha Mensyukuri. Yang menempatkan kami dalam tempat yang kekal (surga) dari karunia -Nya; di dalamnya kami tiada merasa lelah dan tiada pula merasa lesu". (QS. Fathir: 34-35)
Diriwayatkan oleh Muslim di dalam kitab shahinya dari Abi Hurairah RA bahwa Nabi Muhammad shalallahu’alaihi wasallam bersabda: Dunia ini adalah penjara bagi orang yang beriman dan surga bagi orang kafir”.[9] Dan pada saat imam Ahmad ditanya kapankah seorang yang beriman akan tenang?. Dia menjawab: Pada langkah pertama dia meletakkan kakinya di dalam surga.


2.3            Bertasawuf, Ciptakan Kebahagiaan yang Hakiki
Hubungan tasawuf dengan kebahagiaan sungguh erat berkaitan, maka tidak ada alasan untuk ragu-ragu menerima ajaran tasawuf, atau menolaknya. Berdasarkan urgensi dan manfaatnya jika boleh saya katakan tasawuflah salah satu kunci dari kebahagian, dengan berbagai pertimbangan sebagai berikut. Pertama bahwa kehidupan yang kekal adalah kehidupan di akhirat nanti yang kebahagiaannya amat bergantung kepada selamatnya rohani manusia dari perbuatan  dosa dan pelanggaran. Allah berfirman dalam Q.S al-Syu’ara, 26:89 yang artinya :
“ Pada hari (itu) tidak berguna harta dan anak, kecuali mereka yang datang menghadap Allah dengan jiwa yang sehat. (Q.S al-Syu’ara, 26:89)
Untuk mewujudkan rohani yang sehat sebagaimana diisyaratkan dalam ayat tersebut termasuk salah satu tugas tasawuf yang utama. Kedua, bahwa kebahagiian yang hakiki dalam kehidupan ini sebenarnya terletak pada adanya ketenangan batin yang dihasilkan dari kepercayaan dan ketudnukan kepada Tuhan. Bayanknya harta benda, pangkat, kedudukan dan lain sebagainya sering membawa seseorang kepada kehidupan yang lupa diri, dan terperosok kelembah maksiat, jika tidak diarahkan kepada jiwa tasawuf. Sebaliknya banyak orang yang kehidupan ekonomi, status sosial dan kedudukannya biasa-biasa saja, tapi kehidupannya terlihat bahagia, tenang, disukai orang, dan seterusnya yang disebabkan karena yang bersangkutan menunjukan jiwa dan sikap yang mulia yang dihasilkan dari ketundukan dan ketakwaan kepada Tuhan.
Ketiga, bahwa dalam perjalanan hidupnya manusia akan sampai pada batas-batas dimana harta benda, seperti tempat tinggal yang seba mewah, pakaian serba lux, pakaian mengkilap dan lain sebagainya tidak diperlukan lagi, yaitu saat usianya sudah lanjut yag ditandai dengan melemahnya fisik, kurang berfungsinya pencernaan makanan, kurang berfungsinya panca indera, dan kurangnya selera terhadap berbagai kemewahan. Pada saat seperti ini manusia tidak ada jalan lain kecuali dengan mendekatkan diri kepada Tuhan, tempat ia harus mempertanggungjawabkan amalnya.
Keempat, dalam suasana kehidupan modern yang dibanjiri oleh berbagai paham sekuler seperti materialisme (memuja materi), hedonisme (memuja kepuasan nafsu), vitalisme (memuja keperkasaan), dan sebagainya, sering menyeret manusia pada kehidupan yang penuh persaingan, rakus, boros, saling menerkam, dan lain sebagainya. Keadaan itu semakin diperburuk dengan munculnya berbagai produk budaya yang negatif mulai dari makanan, dan obat-obatan terlarang, hiburang yang melupakan diri, pakaian yang mengundang syahwat, tempat-tempat pelacuran dan sebagainya. Hal tersebut kemudian memberi pengaruh negatif terhadap pelakunya terutama pada dewasa ini seringkali terjadi pada generasi muda. Untuk mengatasi masalah tersebut banyak membutuhkan pemikiran, biaya, tenaga, dan waktu yang semuanya tidaklah sedikit. Dalam keadaan demikian tasawuf dapat dijadikan sebagai alternatif untk mengatasi masalah tersebut secara ekonomis, tetapi hasilnya cukup efektif.
Dengan melihat sebagian kecil dari keuntungan yang ditawarkan oleh tasawuf ini, maka tidak ada alasan untuk tidak menerima tasawuf sebagai integral dari ajaran islam, yang akhirnya mampu mendatangkan kebahagiaan dunia maupun akhirat dan sangat pantas bila tasawuf kita letakan sebagai barisan depan dalam menyelamatkan kehidupan manusia.







Bab VI Penutup

4.1     Kesimpulan
            Tasawuf bertujuan untuk memperoleh suatu hubungan khusus langsung dari Tuhan. Hubungan yang dimaksud mempunyai makna dengan penuh kesadaran. Bahwa manusia sedang berada di hadirat Tuhan. Kesadaran tersebut akan menuju kontek komunikasi dan dialog antara ruh manusia dengan Tuhan. Hal ini melalui cara bahwa manusia perlu mengasingkan diri. Keberadaannya yang dekat dengan Tuhan akan berbentuk “Ijtihad” (bersatu dengan Tuhan) baik pada agama Islam maupun diluarnya.
Dengan kita bertasawuf, jiwa kita akan mampu membebaskan dirinya dari pengaruh kehidupan dunia yang terasa berat yang membebani, sehingga tercermin ahlak yang mulia dan dekat dengan Allah SWT. Dengan kedekatan kita kepada sang pencipta akan menghadirkan ketenangan rohaniah dan jasmani. Pencapaian inilah yang nantinya akan membahagian kita kelak walau dalam situasi apapun, karena kita sadar bahwasanya Allah SWT akan selalu bersama kita dan tiada yang tak mungkin baginya.
Harta dam tahta memang mendatangkan mendatangkan kebahagiaan, namun itu bukanlah seluruh kebahagiaan yang hakiki. Harta dan tahta sekedar kebahagiaan yang temporer yang akan hilang, orang yang memiliki harta bisa kehilangan hartanya, dan orang yang menempati jabatan terkadang bisa turun dari jabatannya. Bahkan harta yang merupakan tulang punggung kehidupan jika pemanfaatannya tidak diarahkan pada ketaatan kepada Allah maka dia akan menjadi bumerang bagi pemiliknya. Begitu pula halnya jabatan yang disalah gunakan akan merusak rakyatnya dan dirinya.

Ingatlah bahwasanya tiada yang abadi dimuka dunia ini kecuali zat yang maha agung, Allah SWT. Setiap apa yang kita dapatkan adalah karunia dan rachmat dari Allah SWT yang akan dimintai pertanggung jawabannya kelak. Harta, tahta, keluarga bahkan hidup ini adalah pemberiannya yang sewaktu-waktu dapat kapanpun diambilnya kembali.. Hidup itu bagaikan gelombang yang naik dan turun. Ada kalanya kita berada dipuncak dan berada di palung dasar berfluktuasi dari massa ke massa karena kekalan bukanlah dunia ini. Semua yang ada di dunia ini bersifat sementara dan tiada manusia yang mampu sdapat mengubahnya
Dunia ini hanyalah persinggahan sementara karena pemberhentian akhir kita semua adalah akhirat dan disanalah muara dari segala kebahagiaan abadi yang telah Allah SWT janjikan kepada setiap umatnya.
Dan mereka berkata: "Segala puji bagi Allah yang telah menghilangkan duka cita dari kami. Sesungguhnya Tuhan kami benar-benar Maha Pengampun lagi Maha Mensyukuri. Yang menempatkan kami dalam tempat yang kekal (surga) dari karunia -Nya; di dalamnya kami tiada merasa lelah dan tiada pula merasa lesu". (QS. Fathir: 34-35)





DAFTAR PUSTAKA
Muhammad Saifulloh Al-Azis Senali. Risalah Memahami Ilmu Tashawwuf. Penerbit Terang, Surabaya: 1998.
Ust. Labib MZ, Memahami Ajaran Tashawwuf. Penerbit Bintang Usaha Jaya, Surabaya, Cetakan Pertama: 2001.
Abuddin Nata, Akhlak Tasawuf. Penerbit Raja Grafindo Persada, Jakarta; 2009.
H. Mustofa, Akhlak Tasawuf. Penerbit CV. Pustaka Setia, Bandung: 1997
Harun Nasution, Falsafat dan Mistisisme dalam Islam (Jakarta: Bulan Bintang, 1983)
Ibnu Abu Duna, Berjiwa Tasawdhu. Penerbit Pustaka Inti, Bekasi
Sudirman Teba, Meraih Sukses dan Bahagia dengan Istighfar. Penerbit Pustaka Irvan, tangerang ; 2008
R. Sunarman, [Tasawuf] Hidup tanpa tujuan?. http://www.mail-archive.com/tasawuf@indoglobal.com/info.html, Posting; Mon, 1 Mar 1999 06:26:37 -0500
Adian Husaini, Ilmu dan Kebahagiaan. http://www.arrisalah.net/author/adian-husaini/. Posting; Rabu, 24 Juni 2009


[1] Harun Nasution, Falsafat dan Mistisisme dalam Islam (Jakarta: Bulan Bintang, 1983) , cet. III ,hal. 56-57
[2] Abudin Nata, Akhlak Tasawuf, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1996),cet. V, hal. 179
[3] Abudin Nata, Op.Cit. hal. 180

[4] Achmad Mustofa, Akhlak Tasawuf (Bandung: Pustaka Setia, 2007) hal. 206
[5] Achmad Mustofa, Akhlak tasawuf (Bandung: Pustaka Setia, 2007) hal. 208
[6] Tafsir Ibnu Katsir: 3/585
[7] Bagian dari hadits riwayat Imam Ahmad: 1/307
[8] Shahih Muslim: no: 1054
[9] HR. Muslim: 2956

Tidak ada komentar:

Posting Komentar