Selasa, 27 Desember 2011

KONSUMSI ISLAMI


I PENDAHULUAN
Manusia adalah  makhluk yang allah ciptakan sebagai khalifah di muka bumi ini. Manusia memegang tanggung jawab sebagai khalifah bagi dirinya sendiri manusia mempunyai peranan yang sangat penting dalam pemenuhan kebutuhan untuk mengarungi kehidupan didunia. Ketika manusia memenuhi kebutuhannya, manusia dapat melakukannya dengan kegiatan konsumsi yang berguna bagi kemashlahatan umum. Seluruh aturan Islam mengenai aktivitas konsumsi terdapat dalam al-Qur’an dan as-Sunnah. Perilaku konsumsi yang sesuai dengan ketentuan al-Qur’an dan as-Sunnah ini akan membawa pelakunya mencapai keberkahan dan kesejahteraan hidupnya. Dalam Islam, konsumsi tidak dapat dipisahkan dari peranan keimanan. Peranan keimanan menjadi tolak ukur penting karena keimanan memberikan cara pandang dunia yang cenderung mempengaruhi kepribadian manusia. Keimanan sangat mempengaruhi kuantitas dan kualitas konsumsi baik dalam bentuk kepuasan material maupun spiritual. Namun dari itu semua, seorang muslim yang baik haruslah mengerti tentang teori-teori konsumsi menurut islam demi kebahagiaan di dunia dan di akhirat.

II.Rumusan masalah
Dari latar belakang diatas maka penulis menulis rumusan masalah sebagia berikut:
a. Bagaimana perilaku konsumsi dalam prespektif islam?
b. Bagaimana perbedaaan antara teori konsumsi konvensional dengan teori konsumsi                                                              islami?
c. Bagaimana perspektif tentang etika dan norma konsumsi islami?

III.Pembahasan
A.  Perilaku konsumen dalam perpektif islam
Teori konsumsi versi ekonomi konvensional terdapat dua nilai dasar yang akan membedakan antara ekonomi konvensional dengan teori konsumsi dalam islam. Dalam teori konsumsi ekonomi konvensianal dua nilai dasar (fundamental values) tersebut adalah rasionalisme dan utilitarianisme. Rasionalisme ini mengandung pengertian bahwa setiap konsumen dalam melakukan kegiatan konsumsi sesuai dengan sifatnya sebagai homo econamicus. Dengan kata lain konsumen akan bertindak untuk memenuhi kepentinganya sendiri (self interest), rasionaisme ini juga dapat diartikan sebagai perjuangan untuk kepentingan diri yang senantiasa diukur dengan berapa banyak uang atau bentuk kekayaan lain yang diperoleh. Menurut Chapra yang dikutip dalam Hendri, utilitarianisme merupakan suatu pandangan yang mengukur benar atau salah berdasarkan kriteria kesenangan, kesusahan, baik dan buruk. Dua nilai dasar ini perilaku konsumsi seseorang akan bersifat individualis yang diwujudkan dalam bentuk segala barang dan jasa yang dapat memberikan kesenangan atau kenikmatan. Secara sederana dapat dikatakan prinsip dasar konsumsi versi ekonomi konvensional adalah “saya akan mengkonsumsi apa saja dan dalam jumlah berapapun sepanjang anggaran saya memenuhi dan saya memperoleh kepuasan maksimum”.
Prinsip Dasar Konsumsi dalam perspektif islam adalah anugrah-anugrah Allah itu semua milik manusia dan suasana yang menyebabkan sebagian diantara anugrah-anugrah itu berada ditangan orang-orang tertentu tidak berarti bahwa mereka dapat memanfaatkan anugrah-anugrah itu untuk mereka sendiri, sedangkan orang lain tidak memiliki bagianya sehingga banyak diantara anugrah-anugrah yang diberikan Allah kepada umat manusia itu masih berhak mereka miliki walaupun mereka tidak memperolehnya.
Disebutkan Kahf dalam Hendri, teori perilaku konsumen dalam perspektif islam dibangun atas dasar syari’ah islam yang ternyata memiliki perbedaan mendasar dengan teori konvensional, perbedaaan ini menyangkut nilai dasar yang menjadi fondasi teori, motif, dan tujuan konsumsi. Dalam fondasi teori perilaku konsumsi perspektif islam mempunyai tiga prinsip dasar yaitu: keyakinan akan hari kiamat dan kehidupan akhirat, konsep sukses, dan fungsi dan kedudukan harta. Dalam perspektf islam, seorang umat islam harus meyakini dengan keimanan akan adanya hari kiamat dan kehidupan akhirat. Keyakinanan ini akan membawa efek mendasar pada perilaku konsumsi, yaitu:
·         Pilihan jenis konsumsi diorientasikan pada dua bagian yaitu yang langsung dikonsumsi untuk kepentinngan dunia dan untuk kepentingan akhirat.
·         Jumlah jenis pilihan kemungkinan menjadi lebih banyak, sebab mencakup jenis konsumsi untuk kepentingan akhirat.
Sukses dalam kehidupan seorang muslim diukur dengan moral agama islam, dan bukan dengan jumlah kekayaan yang dimiliki. Semakin tinggi moralitas semakin tinggi pula kesuksesan yang dicapai. Harta merupakan alat untuk mencapai tujuan hidup jika diusahakan dan dimanfaatkan secara benar dan sebaliknya juga dapat menjerumuskan manusia kedalam kehinaan jika diusahakan dan dimanfaatkan tidak sesuai dengan ajaran islam.

B. Perbedaan antara teori komsumsi konvensional dengan teori konsumsi islami
a). Perbedaan kebutuhan dan keinginan
Agama Islam menolak perilaku manusia untuk selalu memenuhi segala keinginanya, karena pada dasarnya manusia memiliki kecerendungan terhadap keinginan yang baik dan keinginan yang buruk sekaligus dalam kata lain disebut ambivalen atau al izhiwajiyah. Dalam pemahaman teori konvensional disebutkan yang menjadi penggerak dasar konnsumsi adalah keinginan (want) sehingga tercapailah kepuasan maksimum atau yang disebut maximum utility. Jika dilihat dari teori tersebut hal itu berbeda jauh dari teori yang berada dalam perspektif islam. Dalam teori konsumsi islami disebutkan bahwa yang menjadi penggerak dasar konsumsi adalah motif pemenuhan kebutuhan (need) untuk mencapai manfaat yang maksimum (maximum maslahah)
Al shatibi yang mengutip pendapatnya imam Al-Ghazali mengatakan ada lima kebutuhan dasar yang sangat bermanfaat bagi kehidupan manusia, yaitu:
·         Kebenaran (faith)
·         Kehidupan (life)
·         Harta material (property)
·         Ilmu peengetahuan (science)
·         Kelangsungan keturunan (posterity)
b) Perbedaan maslahah dan utility
Telah disebutkan sebelumnya bahwa tujuan konsumsi seorang muslim bukanlah mencari utility, melainkan mencari maslahah. Antara konsep utility dan maslahah sangat berbeda dan bertolak. Menurut Hendri ada empat hal yang membedakan antara utility dan maslahah,
Pertama maslahah relatif objektif karena bertolak pada pemenuhan need, karena need ditentukan berdasarkan pertimbangan rasional normatif dan positif. Sedangkan dalam utilitas orang mendasarkan pada kriteria yang bersifat subjektif karenanya dapat berbeda diantara orang satu dngan orang lain.
Kedua masalahah individual akan relatif konsisten dengan maslahah sosial, sementara utilitas individu sangat mungkin berbeda dengan utilitas sosial. Hal ini terjadai karena dasar penentuanya yaang lebih objektif sehingga lebih mudah di perbandingkan, dianalisis, dan diesuaiakan antara satu oarng dengan orang lain, antar individu dan sosial.
Ketiga jika maslahah dijadikan tujuan dari seluruh pelaku ekonomi yaitu produsen, konsumen dan distributor, maka arah pembanngunan ekonomii akan menujupada titik yang sama yaitu penigkatan kesejahtaraan hidupini akan berbeda dengan utilitas, dimana konsumen akan mengukurnya dari pemenuhan want-nya, sementara produsen dan distributor yang mengukur dengan mengedepankan keuntungan yang diperoleh.
Keempat maslahah merupakan konsep yang lebih terukur (accountable) dan dapat di perbandingkan (comparable) sehingga lebih mudah disusun prioritas dan pentahapan dalam pemenuhanya. Hal ini akan mempermudah perencanaan alokasi anggaran serta pembangunan ekonomi secara keseluruhan. Sebaliknya, untuk mengukur tingkat utilitas dan membandingkanya antara satu orang dengan orang lain tidaklah mudah karena bersifat relatif.
Menurut Shaubi dan Al-Ghazali yang dikutip oleh hendri berpendapat bahwa, maslahah dari sesuatu itu harus memenuhi beberapa kriteria, yaitu:
·         Jelas dan faktual (objektif, terukur dan nyata)
·         Bersifat produktif
·         Tidak menimbulkan knflik keuntungan diantara swasta dan pemenrintah
·         Tidak menimbulkan kerugian bagi masyarakat

C. Perspektif tentang etika dan norma konsumsi islami
Dalam ekonomi konvensional, pada dasarnya satu jenis benda ekonomi merupakan subtitusi sempurna bagi benda ekonomi lainya sepanjang memberikan utilitas yang sama. Hal ini berakibat anggaran yang dialokasikan untuk mengkonsumsi apa saja sepanjang utilitasnya maksimum . Dalam perspektif islam antara benda ekonomi yang satu dengan yang lainya bukan merupakan subtitusi sempurna erdapat benda yang lebih berharga dan bernilai sehingga akan diutamakan dibandingkan pilihan knsumsi lainya. Sebaliknya terdapat benda ekonomi yang kurang atau tidak bernilai, bahkan terlrang maka akan dijauhi. Preferensi konsumsi islami berprinsip pada tiga pola, dan pola-pola tersebut adalah sebagai berikut:
1.Mengutamakan akhirat dari pada dunia
Seorang muslim pada hakekatnya akan dihadapkan pada ilihan diantara mengkonsumsi benda ekonomi yang bersifat duniawi dan besifat ibadah. Konsumsi untuk ibadah akan mempunyai nilai tinggi karena orientasinya kepada falah (kebahagiaan) yang akan mendapatkan pahala dari Allah, sehingga akan berorientasi pada kehidupan akhirat kelak . Konsumsi untuk ibadah pada hakekatnya adalah konsumsi untuk masa depan (future consumption), sementara konsumsi duniawi adalah konsumsi untuk masa sekarang (present consumption). Semakin besar konsumsi untuk ibadah maka semakin tinggi pula falah (kebahagiaan) yang akan dicapai, demikian pula sebaliknya.
Seorang muslim yang rasional (yang beriman) akan mengalokasikan anggaran lebih banyak dalam konsumsi untuk ibadah dibandingkan konsumsi duniawi karena tujuanya adalah maksimalisasi falah. Dengan maksimalisasi falah maka ia akan mendapatkan utilitas yang jauh lebih bernilai dibandingkan dengan utilitas yang diperoleh dari duniawi
2.Konsisten dalam prioritas dan pemenuhanya
Ada beberapa hal yang menjadi ukuran bagi manusia dalam pemenuhan sebuah kebutuhan. Dalam hal ini adalah tentang prioritas-prioritas dalam pemenuhan kebutuhan. Para ulama membagi prioritas ini menjadi tiga bagian, yaitu: al haajat adh dharuriyah, al haajat al hajiyyah, al haajat al tahsaniyah.
·         Al haajat adh dharuriayah merupakan suatu keadaan dimana suatu kebutuhan wajib dipenuhi dengan segera. Jika tidak diabaikan maka akan menimbulkan resiko membahayakan eksistensi manusia. Contoh: makan dua kali sehari
·         Al haajat al hajiyyah merupakan suatu keadaan dimana suatu kebutuhan jika dipenuhi akan meningkatkan efisiensi, efektifitas, dan nilai tambah ( add values). Contoh: makan secukupnya dan kualitas gizi yang cukup
·         Al haajat al tahsaniyah merupakan suatu keadaaan dimana jika dipenuhi akan meningkatkan kepuasan atau kenikmatan. Meskipun mungkin tidak menambah efisiensi, efektifitas dan nilai tambah (add values). Contoh: makan sesuai selera.
3.Memperhatikan etika dan norma
Pada dasarnya etika dan norma dalam berkonsumsi adalah sebagai landasan untuk seorang muslim dalam pengimplementasiannya. Secara ringkas preferensi konsumsi dan alokasi anggaran dapat disajkan pada gambar berikut ini.
Berikut adalah prinsip-prinsi etika konsumsi menurut Abdul Manan.
·         Prinsip keadilan
·         Kebersihan
·         Kesederhanaan
·         Kemurahan hati
·         Moralitas
Sedangkan menurut Yusuf Qardhawi, norma konsumsi harus berlandaskan tiga hal, yaitu:
·         membelanjakan harta dalam kebaikan dan menjauhi sifat kikir,
·         tidak melakukan kemubadziran (menjaga aset yang mapan dan pokok, menjauhi hutang, dan tidak hidup mewah dan boros),
·         kesederhanaan

1 komentar:

  1. Apakah Anda mencari pinjaman bisnis, pinjaman pribadi, pinjaman rumah, pinjaman mobil, pinjaman konsolidasi utang, pinjaman tanpa jaminan, modal ventura, dll ... Atau jika Anda menolak pinjaman oleh bank atau lembaga keuangan karena satu atau beberapa alasan. Anda berada di tempat yang tepat untuk solusi pinjaman Anda! Saya adalah pemberi pinjaman pribadi, saya memberikan pinjaman kepada perusahaan dan individu dengan suku bunga rendah dan 1% terjangkau. Manfaat. Silakan hubungi kami melalui surat: zippora.zimslenders@gmail.com

    DATA Peminjam S

    1) Nama Lengkap: ..............................................................
    2) Alamat: .............................................................................
    3) Negara: ..............................................................................
    4) Jenis Kelamin: .....................................................................
    5) Status Perkawinan: ..............................................................
    6) Pekerjaan: ............................................................................
    7) Nomor Telepon: .....................................................................
    8) Jumlah Pinjaman yang Dibutuhkan: .........................................
    9) Durasi: ....................................................................................
    10) Tujuan Pinjaman: .................................................................

    BalasHapus